Antara Menjawab dan Bertanya
Apa yang dibicarakan ibu-ibu saat
menunggui anaknya di tempat les atau kursus anaknya?. Ada yang bicara tentang
barang ini atau itu, tempat ini dan itu dan seterusnya. Tapi pembicaraan yang
paling umum adalah tentang perkembangan anak-anak mereka di sekolah.
Tapi maafkan saya terlebih
dahulu, kalimat pembuka tulisan ini barangkali dianggap bias gender. Sekali
lagi mohon maaf dan saya sungguh tak ingin membeda-bedakan antara bapak dan
ibu. Tapi begitulah yang saya alami sendiri, 3 kali seminggu saya mengantar
anak saya ke tempat les dan saya menjadi minoritas karena sebagian besar yang
menunggui adalah ibu-ibu.
Suatu kali saya mendengar ibu-ibu
bercerita tentang hasil ulangan anak mereka. Tentu saja kecenderungan orang tua
adalah akan bangga bila anaknya memperoleh nilai tinggi, dan hanya senyum saja
atau mengalihkan pembicaraan apabila nilai anaknya tak memuaskan.
Maka saya sama sekali tak menduga
kalau ada seorang ibu menceritakan nilai anaknya yang jelek sambil tertawa. Mau
dibilang ibu itu tak peduli pada pendidikan anaknya, pasti salah sebab terbukti
dia mau menunggui anaknya di tempat les. Atau barangkali saat menceritakan
anaknya, ibu itu teringat pengalamannya waktu kecil dulu yang tak jauh beda
tingkat ‘bodoh’nya dengan sang anak. Nah, kalau soal ini tentu saja saya tak
tahu karena ibu itu bukan teman sekelas saya dahulu.
Saya terus bertanya-tanya apa
gerangan yang membuat ibu itu begitu tenang dan biasa saja menceritakan
prestasi buruk anaknya. Lama saya berpikir hingga kemudian ingat dengan apa
yang pernah diajarkan oleh magister saya dahulu; oh, ya magister adalah sebutan
untuk pembimbing di rumah pembinaan rohani. Apa yang dilakukan oleh ibu tadi
perihal hasil anaknya adalah aseptasi. Sikap menerima dengan rela, bukan karena
pasrah tapi karena sadar itulah batas yang bisa dicapai oleh anaknya saat itu.
Banyak dari kita dalam bahasa
melayu Manado dikatakan sebagai ‘belum kasana so kamari’. Saya dan mungkin anda
sering kali khawatir berlebihan, membayangkan hal yang masih jauh di depan akan
segera terjadi. Anak ibu tadi masih kelas satu SD, dan baru sekolah kira-kira
tiga bulan.
Ulangan yang dilakukan olehnya juga ulangan perdana. Jadi anggap
saja masih latihan, toh masa kenaikan sekolah masih jauh di depan. Jadi nilai
hari ini bukan cermin nilai yang akan diperoleh saat harus ujian semester atau
kenaikan kelas.
Toh, wajar saja misalnya anak
kelas satu SD yang belum tiga bulan belajar, masih patah-patah dalam membaca,
tak tahu apa itu pengalaman, belum bisa membedakan mana pengalaman yang
mengharukan dan mana yang menyedihkan karena gambarnya sama-sama anak mengusap
air mata.
Maka benarlah sikap ibu itu untuk
tak ikut-ikutan tertekan, stress atau sampai kalap ketika nilai anaknya tidak
melewati angka 70. Bayangkan masih terlalu dini untuk menilai seorang anak
dalam hal kepintaran atau prestasi belajar ketika masih kelas satu SD. Rasa
stress atau khawatir yang berlebihan terhadap prestasi anak yang sangat dini
justru berbahaya karena akan membuat anak-anak tertekan. Tak sedikit anak-anak
kemudian ogah-ogahan sekolah karena merasa dibebani harapan orang tuanya yang
terlalu berat.
Sikap ibu tadi mengingatkan saya
untuk tak juga berlaku terlalu menekan anak saya yang masih kelas satu SD. Saya
ingat persis pengalaman saudara dekat saya yang setengah mati hidupnya bukan
karena miskin atau kekurangan uang. Setengah mati karena anaknya mogok sekolah.
Hari-hari terutama di pagi hari yang masih segar ibarat neraka bagi
keluarganya. Suasana panas karena harus ribut untuk memaksa anaknya pergi
sekolah dan si bocah terus bersikukuh untuk tak mau pergi.
Bagi orang tua dunia serasa
runtuh apabila anaknya tak mau sekolah apalagi saat dia masih SD. Dan tentu
anak SD belum secanggih anak SMP atau SMA yang pura-pura pamit sekolah padahal
tidak sampai kelas. Anak SD kalau tidak mau ya tidak mau tanpa basa-basi.
Dalam cara yang lain saya ingat
gurauan orang-orang di Manado sana yang kerap bilang “Biar jo bodo’ di skolah
yang penting nyanda bodo’ makang’. Gurauan yang seolah seperti masa bodoh ini,
mau mengatakan bahwa yang penting anak-anak itu mau sekolah saja sudah syukur,
karena yang utama diperlukan oleh anak-anak justru nafsu makan yang baik. Kalau
mereka mau makan (pintar makan) niscaya pertumbuhannya akan baik.
Dan sekali lagi adalah benar
bahwa kita kerap bertindak ‘lebay’ terhadap anak-anak kita yang masih sekolah.
Sebagai orang tua kerap kali kita menitipkan apa yang dulu tidak kita capai
kepada anak-anak kita, kita berlaku tidak adil karena memberi beban berat
kepada anak-anak.
Perjalanan pembelajaran adalah
laku yang panjang. Jauh yang paling penting adalah menanamkan sikap dan
perilaku untuk mau belajar, haus pengetahuan. Dan kita semua tahu angka atau
nilai bukanlah cermin yang sesungguhnya dari pengetahuan anak-anak kita.
Pendidikan yang menekankan capaian lewat angka hanya akan mengajarkan kepada
anak-anak untuk pandai menjawab, bukan pandai bertanya. Padahal yang terpenting
di masa kanak-kanak adalah menanyakan segala sesuatu yang tidak jelas dan tak
terang untuk mereka.
Maka sebagai orang tua kita
seharusnya jauh lebih khawatir kalau anak-anak kita yang masih SD jarang
menanyakan ini dan itu tinimbang nilainya hanya segini atau segitu.
Pondok Wiraguna, 30 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar