Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (37)

Minggu, 30 September 2012


Antara Menjawab dan Bertanya

Apa yang dibicarakan ibu-ibu saat menunggui anaknya di tempat les atau kursus anaknya?. Ada yang bicara tentang barang ini atau itu, tempat ini dan itu dan seterusnya. Tapi pembicaraan yang paling umum adalah tentang perkembangan anak-anak mereka di sekolah.

Tapi maafkan saya terlebih dahulu, kalimat pembuka tulisan ini barangkali dianggap bias gender. Sekali lagi mohon maaf dan saya sungguh tak ingin membeda-bedakan antara bapak dan ibu. Tapi begitulah yang saya alami sendiri, 3 kali seminggu saya mengantar anak saya ke tempat les dan saya menjadi minoritas karena sebagian besar yang menunggui adalah ibu-ibu.

Suatu kali saya mendengar ibu-ibu bercerita tentang hasil ulangan anak mereka. Tentu saja kecenderungan orang tua adalah akan bangga bila anaknya memperoleh nilai tinggi, dan hanya senyum saja atau mengalihkan pembicaraan apabila nilai anaknya tak memuaskan.

Maka saya sama sekali tak menduga kalau ada seorang ibu menceritakan nilai anaknya yang jelek sambil tertawa. Mau dibilang ibu itu tak peduli pada pendidikan anaknya, pasti salah sebab terbukti dia mau menunggui anaknya di tempat les. Atau barangkali saat menceritakan anaknya, ibu itu teringat pengalamannya waktu kecil dulu yang tak jauh beda tingkat ‘bodoh’nya dengan sang anak. Nah, kalau soal ini tentu saja saya tak tahu karena ibu itu bukan teman sekelas saya dahulu.

Saya terus bertanya-tanya apa gerangan yang membuat ibu itu begitu tenang dan biasa saja menceritakan prestasi buruk anaknya. Lama saya berpikir hingga kemudian ingat dengan apa yang pernah diajarkan oleh magister saya dahulu; oh, ya magister adalah sebutan untuk pembimbing di rumah pembinaan rohani. Apa yang dilakukan oleh ibu tadi perihal hasil anaknya adalah aseptasi. Sikap menerima dengan rela, bukan karena pasrah tapi karena sadar itulah batas yang bisa dicapai oleh anaknya saat itu.

Banyak dari kita dalam bahasa melayu Manado dikatakan sebagai ‘belum kasana so kamari’. Saya dan mungkin anda sering kali khawatir berlebihan, membayangkan hal yang masih jauh di depan akan segera terjadi. Anak ibu tadi masih kelas satu SD, dan baru sekolah kira-kira tiga bulan. 

Ulangan yang dilakukan olehnya juga ulangan perdana. Jadi anggap saja masih latihan, toh masa kenaikan sekolah masih jauh di depan. Jadi nilai hari ini bukan cermin nilai yang akan diperoleh saat harus ujian semester atau kenaikan kelas.

Toh, wajar saja misalnya anak kelas satu SD yang belum tiga bulan belajar, masih patah-patah dalam membaca, tak tahu apa itu pengalaman, belum bisa membedakan mana pengalaman yang mengharukan dan mana yang menyedihkan karena gambarnya sama-sama anak mengusap air mata.

Maka benarlah sikap ibu itu untuk tak ikut-ikutan tertekan, stress atau sampai kalap ketika nilai anaknya tidak melewati angka 70. Bayangkan masih terlalu dini untuk menilai seorang anak dalam hal kepintaran atau prestasi belajar ketika masih kelas satu SD. Rasa stress atau khawatir yang berlebihan terhadap prestasi anak yang sangat dini justru berbahaya karena akan membuat anak-anak tertekan. Tak sedikit anak-anak kemudian ogah-ogahan sekolah karena merasa dibebani harapan orang tuanya yang terlalu berat.

Sikap ibu tadi mengingatkan saya untuk tak juga berlaku terlalu menekan anak saya yang masih kelas satu SD. Saya ingat persis pengalaman saudara dekat saya yang setengah mati hidupnya bukan karena miskin atau kekurangan uang. Setengah mati karena anaknya mogok sekolah. Hari-hari terutama di pagi hari yang masih segar ibarat neraka bagi keluarganya. Suasana panas karena harus ribut untuk memaksa anaknya pergi sekolah dan si bocah terus bersikukuh untuk tak mau pergi.

Bagi orang tua dunia serasa runtuh apabila anaknya tak mau sekolah apalagi saat dia masih SD. Dan tentu anak SD belum secanggih anak SMP atau SMA yang pura-pura pamit sekolah padahal tidak sampai kelas. Anak SD kalau tidak mau ya tidak mau tanpa basa-basi.

Dalam cara yang lain saya ingat gurauan orang-orang di Manado sana yang kerap bilang “Biar jo bodo’ di skolah yang penting nyanda bodo’ makang’. Gurauan yang seolah seperti masa bodoh ini, mau mengatakan bahwa yang penting anak-anak itu mau sekolah saja sudah syukur, karena yang utama diperlukan oleh anak-anak justru nafsu makan yang baik. Kalau mereka mau makan (pintar makan) niscaya pertumbuhannya akan baik.

Dan sekali lagi adalah benar bahwa kita kerap bertindak ‘lebay’ terhadap anak-anak kita yang masih sekolah. Sebagai orang tua kerap kali kita menitipkan apa yang dulu tidak kita capai kepada anak-anak kita, kita berlaku tidak adil karena memberi beban berat kepada anak-anak.

Perjalanan pembelajaran adalah laku yang panjang. Jauh yang paling penting adalah menanamkan sikap dan perilaku untuk mau belajar, haus pengetahuan. Dan kita semua tahu angka atau nilai bukanlah cermin yang sesungguhnya dari pengetahuan anak-anak kita. Pendidikan yang menekankan capaian lewat angka hanya akan mengajarkan kepada anak-anak untuk pandai menjawab, bukan pandai bertanya. Padahal yang terpenting di masa kanak-kanak adalah menanyakan segala sesuatu yang tidak jelas dan tak terang untuk mereka.

Maka sebagai orang tua kita seharusnya jauh lebih khawatir kalau anak-anak kita yang masih SD jarang menanyakan ini dan itu tinimbang nilainya hanya segini atau segitu.

Pondok Wiraguna, 30 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum