• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (21)

Kamis, 20 September 2012 0 komentar

Kisahkan Ceritamu

Aku tahu apa yang kau maui tapi tak kau ketahui. Kira-kira itulah tag line mesin pencari Google seandainya saja dia bisa mengkampanyekan dirinya sendiri. Ya, melalui mesin pencari Google kita bisa mengaduk-aduk isi internet, yang mana hampir semua hal sudah ada di dalamnya. Jika dibandingkan dengan TUHAN, maka baik GOOGLE maupun TUHAN, sama-sama Mahatahu, namun GOOGLE lebih Maha Penjawab.

Seorang teman yang dikenal sebagai penulis yang produkstif menyatakan bahwa kini tulisan apapun ada di internet dan bisa dicari lewat google. Menurutnya kalau dulu sampai tahun 90-an ada seseorang yang menulis kisah kehidupan masyarakat pedalaman menjadi buku yang tebal maka kemungkinannya dia bekerja bertahun-tahun dan tinggal di tengah masyarakat itu dalam waktu yang cukup lama. Tapi dengan tema yang sama dan tebal buku yang sama, karya semacam itu bisa dihasilkan oleh seseorang yang tahan duduk berjam-jam di depan internet dalam waktu bulanan saja. Apa yang hendak dikatakan adalah kini banyak tersedia bahan pustaka yang bentuknya tidak sekedar tulisan, melainkan juga visual baik dalam bentuk foto maupun video (gambar bergerak dan bersuara).

Dan semua itu bisa didapat di satu tempat yaitu internet. Alhasil tanpa beranjak meninggalkan kamar bahkan kita bisa melanglang buana sehingga bisa mendapat informasi dan pengetahuan yang bisa jadi malah lebih banyak ketimbang kalau kita datangi tempat itu. Maka baginya menghasilkan tulisan dalam bentuk buku, artikel atau opini tidak lagi menjadi istimewa. Tantangan seorang penulis sekarang ini justru menghasilkan karya fiksi, karya yang merupakan refleksi atas peristiwa-peristiwa atau kejadian. Fiksi kini justru menempatkan penulis pada sebuah kedalaman karya, orisinalitas yang sulit untuk ditiru atau diklaim oleh orang lain.

Meski tidak saya ungkapkan, saya setuju dengan refleksi teman atas dunia tulis menulis. Dalam 10 tahun terakhir ini banyak karya fiksi yang begitu mempengaruhi masyarakat dan memberi semangat, motivasi serta daya gerak dibanding karya-karya non fiksi yang tebal-tebal dengan daftar pustaka yang kelewat panjang. Ambil contoh saja buku karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi, dimana buku ini menjadi perbincangan melebihi buku apapun di Indonesia. Adalah kebahagiaan seorang penulis apabila bukunya mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi siapapun yang membacanya. Soal pendapatan itu adalah bonus yang tentu saja juga patut disyukuri apabila buku itu laku keras dan terus menerus dicetak ulang.

Dan jika kita mau menelisik lebih dalam maka buku-buku yang berpengaruh adalah buku-buku dengan kisah yang sederhana. Bahkan kisah seseorang yang sebenarnya bukan apa-apa. Buku Laskar Pelangi misalnya adalah kisah Andrea Hirata dengan teman-temannya di SD yang hampir tutup, di pulau yang jauh dari Ibu Kota. Pulau yang meskipun sangat dikenal dalam HPU (Himpunan Pengetahuan Umum) saat saya SD dulu, namun sebenarnya kini hampir layaknya kota hantu setelah industri pertambangannya surut. Kisah sesederhana apapun akan menjadi bermakna apabila dituturkan dengan refleksi yang dalam, karena kisah selalu memberi pembelajaran hidup yang berguna bagi siapapun yang membacanya.

Saya yakin siapapun yang membaca Laskar Pelangi akan mempunyai banyak bahan tulisan. Kisah di Laskar Pelangi membuat banyak orang merasa mempunyai segudang bahan tulisan. Ada sederet kisah hidup yang bisa dituliskan untuk kemudian dibagikan. Dalam bentuk yang lain kisah-kisah itu kemudian dituliskan dalam model biorgrafi, terutama jika yang mengalaminya adalah publik figur. Alberthine Endah adalah penulis biografi yang kini sangat dikenal. Banyak orang mengantri untuk dituturkan kisah hidupnya oleh AE. Dan konon bukan hanya orang melainkan juga kisah perjalan sebuah badan usaha atau perusahaan.

Sebuah karya akan dihargai karena orisinalitas dan kisah selalu orisinil karena sebuah kejadian meski berlangsung di tempat yang sama selalu akan mempunyai perbedaan dalam diri antar orang. Sebuah kisah dalam diri seseorang selalu unik karena setiap orang mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Karena itu sebuah kisah entah dialami oleh siapapun akan selalu menarik bagi orang lain. Bukanlah setiap orang selalu ingin tahu kisah orang lain, siapapun dia.

Berangkat dari kisah maka setiap orang pasti akan bisa menulis dan tak perlu tahu seluk beluk teori penulisan untuk melahirkan karya yang orisinil dan menarik. Bukan lagi jamannya sebuah tulisan sebagai ruang pamer bahwa kita membaca banyak buku, mempunyai segudang kutipan, namun miskin gagasan atau pendapat pribadi.

Saya ingat beberapa pengalaman beberapa tahun lalu yang menyadarkan betapa pentingnya orisinalitas gagasan, saat seorang Kyai terkenal di Manado mengatakan “Dari semua yang kau ungkapkan, panjang dan bagus itu semuanya adalah kutipan dari pemikiran orang-orang terkenal, lalu mana yang merupakan pikiranmu sendiri?.”. Meski tidak ditujukan kepada saya, ungkapan dan pertanyaan itu membuat saya menjadi lebih hati-hati dan selektif untuk tidak terus menerus mengobral kutipan tanpa refleksi atau pendalaman dari diri saya sendiri.

Jadi, marilah menulis, ceritakan kisahmu, katakan kepada dunia siapa saya. Dan biarlah dunia belajar dari anda.

Pondok Wiraguna, 19 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (20)

0 komentar


Tunggang Langgang

Impian saya hari ini adalah menghentaknya jari di virtual keyboard yang muncul di layar dengan sentuhan. Sepertinya ketukkan akan terasa ringan dan tak ada ‘hard impact’ pada tulang jemari.  Mimpi ini mengingatkan saya pada masa 20 tahun yang lalu, saat pertama saya begitu takut-takut menyentuh perangkat PC yang berlayar biru. Semua masih serba memakai kontrol dan bantuan disket untuk booting. Pernah suatu kali saya setengah hari duduk di hadapan komputer, karena takut mematikannya sehingga saya tunggui sampai kakak kelas yang paham masuk kembali ke ruangan.

Lalu sekitar tahun 96 mulailah saya memakai komputer yang sudah cukup mudah pengoperasiannya. Tak perlu lagi booting dengan disket, programnya juga mulai banyak, termasuk huruf berhias sehingga bisa bergenit-genit dengan tampilan tulisan. Laptop saat itu masih jarang, sehingga jika ada kegiatan maka siap-siap mengotong CPU, Layar, Stavol dan UPS. Waktu itu mengotong-ngotong perangkat PC ke ruang pertemuan di hotel-hotel terasa gagah, tapi kalau sekarang harus melakukan itu maka saya tak bakalan sudi.

Tak lama kemudian saya mulai memakai laptop, yang sesekali dipinjamkan oleh teman. Meski sebenarnya berat karena tebalnya hampir sama dengan buku kitab suci, membawa laptop kesana-kemari adalah kebanggaan tersendiri. Saat itu laptop amatlah jarang dan harganya masih mahal. Maka siapa yang membawanya ibarat orang-orang pilihan.

Booming laptop tiba, bentuknya semakin tipis dan dilengkapi dengan modem internal. Maka ketika nongkrong-nongkrong di warung kopi, rasanya wajib membawa laptop untuk menunjukkan eksistensi agar tidak dikira gaptek. Tapi ada masa kemudian saya tak mau mengeluarkan laptop lantaran malu, sebab laptop saya bukan termasuk kategori laptop gaya hidup. Laptop yang percaya diri nangkring di meja-meja cafe adalah yang berlambang ‘apel digigit’, mac book.

Belum juga mampu membeli mac book, kini meja-meja cafe dihiasi oleh lembar tipis, sabak elektronik alias komputer tablet. Memang banyak tablet yang beredar di pasaran, bahkan harganya mulai dari sejutaan. Tapi lagi-lagi bukan soal tabletnya melainkan mereknya, untuk apa mengeluarkan tablet jika bukan Samsung Galaxy  atau IPAD.

Dunia memang berubah dengan cepat, semakin hari kecepatannya semakin tinggi, secepat prosessor yang kini terpasang di gadget-gadget canggih. Bahkan kini yang namanya core duo pun tak lagi dipamerkan sebagai iklan, karena sudah sampai quard core. Semua yang lambat-lambat bakal tertelan jaman. Mengikuti perkembangan membuat kita menjadi terengah-engah. Yang satu belum terbeli, model lainnya sudah keluar tanpa menunggu tahun.

Perubahan yang cepat sejatinya tak hanya dalam soal teknologi, trend atau kecenderungan yang lain menyangkut gaya hidup, sosial, ekonomi dan politik juga berubah dengan sangat cepat. Dunia seolah kini sudah berlari, lari dengan kecepatan para sprinter. Idola tak bertahan lama, terpeleset sedikit yang ngantri untuk mengantikan sepanjang kemacetan di pelabuhan merak-Bakahueni. Tak heran jika kemarin seorang bintang membikin fans-nya pingsan-pingsan, esoknya tak ada lagi yang minta meski hanya untuk berfoto bersama-sama. Kedudukan yang tinggipun bisa dengan cepat menjungkalkan orang ke lubang terdalam. Hari lalu adalah penguasa yang terhormat dan ditakuti, besok digiring polisi dengan tangan terborgol mirip pencuri ayam habis digebukin orang sekampung.

Perkembangan dalam dunia ITK adalah representasi dari kecepatan perubahan saat ini. Kemampanan adalah sesuatu yang langka. Perubahan terjadi dari detik ke detik seperti yang sering diucap oleh Amien Rais. Kecepatan yang membuat kita sering ragu, hanya mampu membuat kesimpulan sesaat. Karena umur orang baik bisa jadi sangat pendek, karena tak lama ternyata terbukti kebusukkannya. Kekuasaan bisa jadi juga sangat nisbi, seolah-olah, karena selalu terancam untuk diturunkan derajatnya. Popularitas bisa dengan sekejap diraih, tapi juga dalam sekerjap mata berkedip hilang kembali. Tak heran jika kemudian banyak orang-orang ternama, merana dan kemudian memilih ‘mematikan diri’ dengan perbuatan konyol lantaran tak tahan menghadapi perubahan.

Perubahan adalah sebuah rangkaian pencapaian yang terus menerus, dalam dunia produksi diperlihatkan lewat kelahiran seri-seri baru yang semakin baik dan lengkap. Namun kita tak selalu harus memakai yang terbaru, meski selalu ingin. Perubahan adalah sesuatu yang melingkupi diri kita bukan mengurung apalagi mengungkung. Kita tak bisa menolak tapi tak harus ikut larut ke dalamnya. Nikmati perubahan, siap selalu menghadapinya dan tak perlu tunggang langgang karenanya.

Pondok Wiraguna, 17 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (19)

0 komentar

Glenn dan Oma Irama

Menurut kisah yang diceritakan oleh temannya teman saya, dalam sebuah kesempatan Glenn Fredly memberi kesaksian bahwa salah seorang yang mempengaruhi perjalanan karier bermusiknya adalah Rhoma Irama. Tentu saja pengakuan Glenn Fredly mengejutkan bagi banyak orang. Konon sebagian besar yang hadir mengumandangkan ‘huuuuuu....’. Tapi ternyata Glenn tidak sedang bermain-main, dia serius dengan kesaksiannya. Saya yang lahir di tahun 70-an tentu saja paham bahwa apa yang dikatakan oleh Glenn memang benar. Di masa kecil saya sampai dengan saat duduk di bangku SMP, saya kira tidak ada yang bisa melebihi popularitas Roma Irama, yang kerap dipanggil dengan sebutan Oma Irama.

Sang Raja Dangdut itu bersanding dengan Elvie Sukaesih menghiasi khasanah dan blantika musik Indonesia. Namun dibandingkan dengan Sang Ratu, Raja Dangdut jelas lebih mempunyai banyak kelebihan. Oma Irama bukan hanya bernyanyi, tapi juga pemusik dan pencipta lagu. Dan dari sisi musikalitas, Oma Irama juga melakukan ekplorasi untuk mengembangkan musik dangdut menjadi orkes dengan irama melayu. Soneta adalah kumpulan atau grup dengan personel dan peralatan yang beragam.

Sebagai pencipta lagu, Oma Irama juga tidak sekedar menciptakan lagu-lagu dengan permainan kata-kata indah belaka, melainkan juga merefleksikan keadaan pada jamannya. Oma Irama mencipta lagu yang membawa pesan sosial dan moral. Dalam bahasa gerakan lagu-lagu Oma Irama berisi kritik sosial. Dalam bahasa religus, Oma Irama menjalankan ‘kerasulan’ atau dakwah kepada masyarakat luas lewat lirik dan lagu. Tak ayal lagi, dengan saluran media publikasi yang masih terbatas, maka hampir semua penduduk di Indonesia yang terpapar oleh RRI dan TVRI jelas akan mendengar dan turut mendendangkan lagu Oma Irama. Saya yakin banyak anak-anak muda belajar main gitar dengan memainkan lagu-lagu Oma Irama. Seingat saya, Oma Irama juga rajin melakukan pertunjukkan keliling.

Saya ingat, bahkan di kota kecil macam daerah kelahiran saya, Oma Irama pernah manggung di lapangan belakang pendopo kabupaten (Belkab). Saya tidak ikur nonton di lapangan yang kemudian dipagar dengan gedhek, tapi om saya yang saat itu sudah duduk di bangku SMA, sejak sore sudah bersiap-siap pergi menyaksikannya. Perjalanan hidup seseorang akan selalu mengalami perkembangan, naik dari satu level ke level lainnya. Oma Irama tetap dianggap sebagai Raja Dangdut meski tak lagi seproduktif waktu muda dulu.

Dan dengan pencapaiannya maka Oma Irama tidak lagi sekedar seorang pemusik. Dia masuk dalam level tokoh, sosok yang kini banyak berbicara dan menyuarakan soal moralitas. Oma Irama kemudian masuk dalam wilayah religius secara lebih dalam dan mencoba menjadi panutan dalam bidang itu. Sayang jika kemudian kemampuan refleksinya yang dalam pada keadaan sekeliling sebagai mana tercermin dalam lagu-lagunya dahulu seperti tidak terus terasah. Komentar dan keluh kesahnya kini tak lagi menyentuh tapi malah berubah seperti hardikan dan penghakiman untuk orang atau kelompok yang ditembaknya.

Entah karena gelarnya sebagai Raja Dangdut, mungkin Oma Irama masih merasa dia adalah raja yang sabdanya didengarkan. Padahal kini dia tak lagi bersyair dengan dalam. Ungkapan-ungkapan terasa dangkal dan bernada penghakiman. Dalam kemapanannya Oma Irama lupa bahwa jaman berkembang dan selalu bergerak. Seperti dia dulu mengerakkan perubahan dalam irama kendang menjadi sebuah orkestral melayu.

Namun anehnya tiba-tiba dia terganggu dengan gerak dan arah perubahan dalam dunia musik dangdut. Bahkan dangdut dihubungkan dengan moralitas dan agama. Gaya Oma Irama yang terkesan salah pergaulan membuat generasi muda sekarang ‘gagap’ melihat sosok Oma Irama dan sumbangsihnya dalam dunia musik Indonesia. Seorang yang dulu lagu-lagunya sangat ‘gaul’ kini tampil sebagai sosok yang nyinyir dan dangkal memandang kondisi di sekelilingnya. Tak heran jika kemudian para pengemar Glen Fredly seolah-olah tak rela idolanya menempatkan Oma Irama sebagai sosok yang mempengaruhi dirinya dalam bermusik.

Dan pastinya Glenn akan maklum pada sikap para pengemarnya yang mungkin hanya kenal Oma Irama karena urusannya dengan Angel Elga.

Pondok Wiraguna, 20 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (18)

Minggu, 16 September 2012 0 komentar

Demam Baliho

Perubahan sistem politik dari tertutup menjadi terbuka yang ditandai dengan kelahiran banyak partai dan pemilihan secara langsung merubah wajah jalanan di Indonesia. Kini jalanan bukan hanya dihiasi iklan produk atau barang, melainkan foto-foto tokoh tertentu mengumbar senyum kepada siapapun yang lewat di depannya. Sebagian foto-foto itu dikenal oleh masyarakat namun sebagian lain adalah orang asing, bukan tokoh sungguhan melainkan karena menokohkan diri atau ditokoh-tokohkan oleh kelompok tertentu. Tapi siapapun dia, pada intinya jalan raya hari ini dipenuhi wajah tokoh yang doyan nampang dengan segala macam pamrih. Saya beberapa hari yang lalu melewati jembatan Mahakam di sore hari. Tentu saja harus berjalan merayap karena jalanan penuh sesak. Persis di mulut pertigaan ke arah jembatan berjejerlah baliho besar-besar aneka rupa.

Semuanya serempak mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri bagi siapapun yang lewat di depannya. Ada yang berfoto berdua, yaitu ketua dan wakil, tapi ada juga yang menyertakan rombongan ‘sirkus’ lainnya di baliho. Tapi tak sedikit pula yang tampil sendirian. Mengucapkan selamat kepada masyarakat tentu saja tidak masalah, semakin banyak yang mengucapkan selamat tentu saja rejeki tukang cetak baliho makin baik pula. Di beberapa ruas jalan juga ditemukan baliho memasang wajah tertentu dengan pesan perkenalan bahwa dirinya adalah calon gubernur Kaltim untuk 2013. Dan pemilukada gubernur Kaltim masih satu tahun lagi. Tapi ya sudahlah tidak apa juga, karena kalau jadi calon lalu tidak dikenal masyarakat kan berarti bunuh diri. Maka memperkenalkan diri sejak jauh-jauh hari memang penting. Toh tak mungkin dijerat sebagai mencuri start kampanye, karena pendaftaran untuk calon ke KPUD juga belum dibuka. Lepas dari persoalan estetika dan etika pemanfaatan ruang publik, sesungguhnya baliho-baliho kerap kali menjadi hiburan tersendiri, apalagi jika ‘wajah’ yang dipasang di lembar baliho itu mampu memancing senyum. Tak sedikit dari sekian wajah para tokoh itu yang terlihat lucu bahkan cenderung ganjil. Maaf, entah karena potongan wajahnya yang memang ‘menyedihkan’ dari sononya atau lantaran kostum yang dikenakannya.

Meski menikmati semua pertunjukkan itu, tak bisa dipungkiri suatu saat saya jengkel juga. Terutama jika ada baliho-baliho yang tak ada relevansinya dengan ‘kita’. Seperti baliho sosok tertentu yang akan jadi calon ketua organisasi tertentu yang tak berhubungan dengan masyarakat banyak. Atau untuk jadi ketua organisasi itu dia tak perlu minta ijin atau dukungan dari masyarakat. Jadi tak ada urusan kalo sampai dia harus memasang wajah ramah dengan tangan terkepal di udara dihadapan masyarakat. Kalo diibaratkan barang yang harus dipromosikan maka pemasangan baliho itu adalah promosi yang salah tempat.

Namun ternyata tidak hanya berhenti pada kejengkelan semata, sebab ketika lewat jalan Basuki Rahmat, di pagar salah satu SMP ternama, terpasang baliho besar menghadap jalan. Terpampang tiga pasang foto siswa yang ternyata adalah calon ketua OSIS. Kalimat lain saya tidak hafal, tetapi ada tulisan ‘Pilihlah Yang Amanah’, ‘Gunakan Hak Suara, Jangan Golput’. Lalu ada lambang OSIS dan lambang yang sekilas sama persis dengan KPU namun tertulis Komisi Pemilihan OSIS. Luar biasa, apa coba urusannya memasang baliho itu menghadap ke jalan. Urusan OSIS kan urusan internal. Apa yang mau ditunjukkan ke publik, apakah mau pamer bahwa sistem pedidikan kita sudah demokratis?.

Sekolah yang memasang baliho itu dikenal siswanya pintar-pintar, tentu saja demikian pula dengan gurunya, namun jelas mereka tidak ilmiah. Apa ilmiahnya kalau urusan ketua OSIS mesti dipamerkan ke publik?. Apa ilmiahnya kalau pelajar yang seharusnya diajar tekun belajar malah diajari pamer wajah, didorong-dorong kerajingan selebritas, pasang senyum kepada pemakai jalan yang tidak kenal. Belum lagi, untuk apa sebenarnya pemborosan uang cetak baliho itu. Bukankah dunia pendidikan sering mengeluh kekurangan dana. Jangan-jangan kekurangan itu karena perilaku yang boros, tidak mampu mengelola uang dengan benar.

Dan contohnya jelas, masak untuk pemilihan ketua OSIS mesti mencetak materi promosi yang jelas-jelas tak mendidik. Apa coba yang mau dikatakan oleh baliho itu, jelas baliho tak mengabarkan apa-apa yang relevan bagi kita pengguna jalan. Baliho itu hanya mengambarkan ego para pemasangnya, ego karena kepentingan mereka sendiri dan sialnya mengajak kita yang melewatinya untuk menganggapnya penting juga. Ada banyak persoalan di kota ini yang jauh lebih penting tapi tak disampaikan lewat baliho. Persoalan yang perlu agar masyarakat sadar akan urusan kita bersama, bukan urusan orang per orangan yang dipamerkan dalam baliho-baliho di jalanan.

Pameran kepentingan pribadi nampaknya masih akan terus merajalela. Semua tampil seolah-olah menawarkan kepedulian diri, kebaikan hati, kata indah dengan senyum merekah yang sebenarnya cuma ilusi dalam kehidupan senyatanya. Jadi pikirkan kembali siapapun yang ingin ikut-ikutan memasang baliho, sebab kalau tidak saya akan menganggap wajah anda-anda hanyalah seolah-olah. Seolah-olah baik, seolah-olah peduli, seolah-olah amanah padahal maaf saja, kelakuan anda-anda ini sungguh parah dan tidak ilmiah.

Pondok Wiraguna, 12 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (17)

0 komentar


Korupsi : Konsumsi vs Produksi

Orang yang kecanduan alkohol akan disebut alkoholic. Suatu masa saya pernah mengalami hal itu, jika waktu sudah menunjukkan jam 5 sore dan belum setetespun alkohol melewati tenggorokan dunia sepertinya terasa kacau. Sekarang saya merasa beruntung karena tinggal di Samarinda, daerah yang cukup sulit untuk membuat saya kembali menjadi alkoholic, sebab jenis minuman yang mengandung zat itu tak bebas dijual disini. Dan kalaupun ada harganyapun akan membuat saya berpikir 13 kali untuk membelinya.

Untuk urusan alkoholic mungkin Samarinda bisa menghindari, tapi bagaimana dengan shopoholic aliat gila belanja. Nampaknya sulit, sebab di Samarinda hal yang paling nampak berkembang luar biasa adalah pusat-pusat perbelanjaan. Bukan hanya kebutuhan pokok melainkan gadget dan gaya hidup. Industri gaya hidup dalam bentuk mall, caffee dan tempat-tempat hiburan berkembang pesat di sini. Masyarakat disini adalah masyarakat konsumsi, rajin membeli ini dan itu, tak heran disetiap outlet toko-toko elektronik dan motor selalu ada counter leasing atau kredit turut serta. Kartu kredit pun ditawarkan seperti balon di pasar malam. Para marketer kartu kredit membujuk-mbujuk orang untuk berhutang.

Saya ingat cara pandang Pramudya Ananta Toer terhadap korupsi. Sederhana saja, korupsi adalah hasil dari  keadaan kemiskinan produksi. Sebuah daerah atau bangsa yang rendah produksinya, akan tinggi korupsi. Saya tidak mengkaji dengan dalam pandangan Pram ini, namun saya merasa teori ini benar adanya. Contohnya ya di Samarinda, apa produksi yang dihasilkan secara kreatif oleh masyarakat disini?. Adakah orang-orang yang mempunyai rumah besar, bertingkat dan sederet mobil serta segepok buku rekening adalah para produsen?. Orang-orang kaya disini yang kehadirannya sangat kontras itu mendapat kekayaan dari mana?.

Patut diduga bahwa mereka yang kaya raya, keren dan mentereng memperoleh harta bendanya karena menjarah alam dan merampok anggaran negara (daerah). Mereka tidak berproduksi tapi hanya memanen, tak heran jika kemudian seperti sim salabim, tak perlu cerita seluk beluk derita langsung menjadi kaya.

Menjadi kaya di daerah yang rendah produksinya memang mudah, cukup bermodal akses dan mulai ‘memproduksi’ kekayaan dengan proyek-proyek pembangunan dan setelah itu dilanjutkan dengan ‘proyek pemeliharaan’ dan lama-lama diteruskan dengan ‘proyek renovasi’ hingga kemudian kembali pada ‘proyek pembangunan kembali’. Dan disinilah siklus ‘produksi kekayaan’ akan berkelanjutan.
Dengan demikian ramai proyek pembangunan sebenarnya tidak bertujuan untuk pembangunan, melainkan sebagai cara ‘mengeruk uang’ besar secara berjamaah. Tak heran jika rencana pembangunan biasanya berupa gedung-gedung megah, jembatan panjang, jalan nan lebar dan panjang, polder, kolam retensi, pelabuhan dan lapangan terbang. Pembangunan yang butuh waktu bertahun-tahun, terus dijadwal dan dibahas tiap tahun kenaikan harga dan anggarannya di gedung Dewan.
Urusan kecil-kecil seperti jalan berlubang dan terkelupas, got mampet, trotoar jebol, devider jalan yang rusak, bus sekolah yang mogok tak beroperasi, bekas galian ditutup tanah seadanya, jelas tak menarik hati untuk dikerjakan. Jumlah uang yang masuk kategori pemeliharaan  terlalu kecil. Jadi biarpun orang jengkel dan ngomel-ngomel, pihak yang bertanggungjawab akan tutup mata saja, dibiarkan dahulu sampai parah, hingga bisa dianggarkan sebagai pembangunan ulang. Proyek akan diusulkan jika ‘nilai belanja’-nya besar.

Di sebuah iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh sebuah perusahaan bahan kimia, narator menyebutkan bahwa Bumi Borneo menyediakan segalanya. Yang dimaksud tentu saja sumberdaya alam yang melimpah dan punya nilai besar. Tapi coba apa yang terjadi, Bumi Borneo ternyata hanya bisa  ‘mengimpor’ hampir semua kebutuhannya. Data dari BPS menunjukkan komoditi yang surplus hanyalah daging ayam dan ubi. Di luar itu harus didatangkan dari luar pulau. Kenapa tidak mencoba menghasilkan sendiri?. Lagi-lagi tentu saja karena proyek. Mendatangkan sesuatu dari luar akan membuka peluang bagi ‘oknum-oknum’ tertentu untuk menarik fee atau komisi dan sebagainya.

Dan kebijakanpun adalah sebuah proyek, maka membuat daerah ini terus kekurangan daging sapi, sayur, beras, bibit tanaman, dan seterusnya adalah peluang bagi kebijakan untuk terus mengembangkan proyek yang berbasis pada ‘kekurangan’. Maka dilakukanlah proyek-proyek pengembangan yang sebenarnya tak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk dicapai outputnya. Yang dikejar dari proyek adalah inputnya, nilai belanjanya bukan nilai hasil. Dengan demikian proyek akan berjalan terus dan tujuan utamanya tidak dicapai. Contoh caranya untuk menghasilkan daging dibuatlah proyek pengemukkan sapi, bukan pembibitan sehingga menghasilkan sapi sendiri. Jadi begitu sapi gemuk dipotong dan habis, maka didatangkan lagi sapi-sapi muda dan bujang untuk kembali digemukkan.

Berkali-kali di lakukan aneka ‘launching’ dan pencanangan untuk mandiri ini dan itu. Setiap hari besar dijadikan momentum dan momentum. Momentum terus berulang, niat untuk bangkit, memnuhi kebutuhan sendiri terus diteriakkan dalam setiap kesempatan. Tapi lagi-lagi itu hanya ‘liur’, niat yang keluar dari mulut pembaca pidato, tapi di hati para perencananya yang terpikir adalah fee dan komisi. Tak ada niat untuk mandiri, memenuhi kebutuhannya sendiri, tak ada cita-cita untuk berproduksi, sebab melakukan produksi itu melelahkan, butuh perjuangan dan keuntungan yang dibagi tak selalu besar jumlahnya.

Kesimpulannya dalam kata ‘pembangunan’ yang dimaksud dengan produksi adalah belanja sebesar-besarnya untuk menghasilkan wujud bangunan semegah-megahnya. Dengan demikian ‘kue’ pembangunan itu bisa dibagi-bagi rata, komisi, fee, supliernya dan lain-lain. Dengan demikian banyak orang akan dapat dan kemudian menghabiskan lagi dengan membelanjakannya. Dan siklus ‘perampokan’ kembali berulang dan berulang.

Pondok Wiraguna, 16 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (16)

0 komentar

Pintar tapi Tak Jujur

Angelina Sondakh dan Miranda S Goeltoem adalah sosok dari sedikit perempuan-perempuan ternama di Indonesia. Keduanya jelas orang yang pintar, cerdas dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Angie yang masuk ke kancah legislative nasional lewat jalur celebritas menunjukkan kelas tersendiri dibanding celebriti-celebriti lain yang tenggelam ketika masuk dalam jalur politik. Sementara Miranda juga mencatat prestasi yang tak kalah bersinar, dengan menjadi wanita yang mampu mewarnai jajaran tinggi di Bank Indonesia, sebuah prestasi yang sulit untuk ditandingi siapapun.

Dua perempuan luar biasa itu kemudian menjadi bahan pemberitaan bukan karena prestasinya melainkan karena tuduhan telah melakukan tindak pidana korupsi. Saya yakin banyak orang sulit mempercayai kabar itu. Mereka adalah sosok yang tampil hampir sempurna di muka publik, sosialita papan atas yang tentu saja amat hati-hati dalam bertindak. Tapi percaya atau tidak percaya toh KPK telah menetapkan mereka sebagai tersangka.

‘Kesempurnaan’ Angie maupun Miranda kemudian tercoreng. Pintar itu memang penting, tapi jujur tetaplah yang utama. Ternyata di balik ‘kemolekan’ tutur, tingkah laku dan penampilan mereka tersembunyi sebuah laku yang mengejutkan. Angie konon mengatur-atur dan mengawal proyek-proyek yang menguntungkan dirinya lewat kedudukannya di DPR RI. Sementara Miranda yang jelas populer dan tak punya tandingan, ternyata tak cukup percaya diri menahklukkan DPR RI, sehingga membagi-bagi ‘gula-gula’ untuk melicinkan jalan agar dirinya tetap berdiri di jajaran pimpinan BI.

Dan ternyata bukan cuma dua perempuan hebat yang terjerembab, karena ada satu lagi yang menyusul, yaitu Hartati Murdaya Poo. Pengusaha besar, politisi dan elit partai berkuasa di negeri ini. Hartati juga satu-satu pemimpin tertinggi organisasi keagamaan yang jamaknya dikuasai oleh laki-laki. Hartati lewat orang-orang di perusahaannya melakukan kegiatan ‘germo politik’, mendukung salah satu calon untuk bertempur dalam pemilukada dan setelah sang calon menang beroleh imbalan ijin. Dalam kasus Hartati ijin yang diberikan adalah untuk perkebunan sawit.
Angie, Miranda dan Hartati, sama-sama melakukan sebuah ‘Keharusan yang tidak seharusnya’. Inilah anomali negeri ini dimana hal-hal yang sudah seharusnya dilakukan mesti diembel-embeli balas jasa, succsess fee dan sebagainya.

Adalah seharusnya DPR RI menyetujui proyek-proyek penting yang dibutuhkan baik oleh negara maupun masyarakat. Tak usah dengan suntikan apapun, seharusnya proyek akan diloloskan kalau memang perlu dan tidak diloloskan kalau memang tak menjadi prioritas. Mereka yang duduk dalam kelengkapan Dewan memang bekerja untuk itu.

Demikian juga dengan tugas Dewan untuk menguji dan kemudian meloloskan calon pejabat publik. Tentu saja mereka telah melengkapi diri dengan aneka macam kriteria yang dengan mudah akan dilihat dari calon-calon yang harus diuji. Calon-calon pasti bukan orang yang turun begitu saja dari balik atau belakang tanah, karena harus melewati rangkaian seleksi yang ketat sebelum sampai di hadapan para anggota Dewan yang terhormat.

Dalam soal pemilukada juga demikian. Para calon terlibat ijon dengan para sponsor dan donatur politik. Kalau kepemimpinan adalah amanah maka seharusnya prosesnya tak harus dikotori dengan hamburan uang kepada para pemilik suara. Bukankah kepercayaan tak bisa dibeli?.

Tapi nyatanya ‘Keharusan yang tidak seharusnya’ sudah menjadi ayat penting meski tak tertulis. Di DPR jangan proyek pembangunan, rancangan undang-undang yang tidak berbentuk materialpun harus dimaterialkan. Akar dari semua ini adalah kepentingan, kepentingan segelintir dan sekelompok orang yang kemudian dianggap sebagai kepentingan bangsa dan negara.

Proyek yang seolah-olah untuk membangun sumber daya bangsa dan negara tak lebih dan tak bukan lahir dari keinginan sekelompok orang tertentu untuk membesarkan perusahaannya, membesarkan organisasinya untuk kemudian bisa memperkuat tawar menawar dan pengaruh politik. Pengaruh politik ini penting sebab itu merupakan senjata untuk terus mempertahankan ‘keberlanjutan pendapatan’.

“Keharusan yang tidak seharusnya’ sekali lagi adalah jamak di negeri ini. Bukan hanya Angie, Miranda dan Hartati saja yang fasih melakukannya. Semua ini terjadi mulai dari unit terkecil dari tingkat RT sampai tingkat wilayah nasional. Bahkan praktek ini juga terjadi dalam lembaga-lembaga non negara. Terbongkarnya praktek seperti ini tak menyurutkan para pelaku dan calon pelaku untuk mundur teratur.

Maka kita harus selalu siap untuk melihat orang-orang hebat kemudian terjerembab dalam nista. Orang-orang yang kita anggap pintar namun ternyata tak jujur. Dan itu selalu menyedihkan.

Pondok Wiraguna, 15 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (15)

0 komentar


Tata Ruang dan Tata Laku

Salah satu proses penentuan yang maha melelahkan adalah soal tata ruang. Tarik menarik dalam persoalan ruang memang begitu rumit. Ruang bukanlah lahan kosong dan kering, melainkan tempat dimana berbagai kepentingan yang bisa jadi berlawanan bertarung untuk merebut penguasaannya. Ruang itu sendiri tidak selalu bermakna tunggal, sebab ada ruang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dalam ruang yang sama semua aspek ini harus dijalankan dan terkadang yang satu mengalahkan yang lainnya.

Benar adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa tata ruang itu penting, namun yang jauh lebih penting adalah tata laku di baliknya. Dalam banyak kasus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) lebih mencerminkan kepentingan ‘ku’. ‘Ku’ disini merujuk pada tata laku atau kepentingan penguasa dan pengusaha. Ruang yang adalah wilayah publik dibagi-bagi secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam ruang-ruang lobby yang tertutup. Kepentingan yang bisa jadi sesaat dibungkus dengan slogan-slogan pembangunan yang seolah bervisi jangka panjang dan lestari.

Tak mengherankan jika kemudian tata ruang tak seiring sejalan dengan kebutuhan masyarakat banyak karena mengacu pada tata laku kelompok tertentu. Banyak pembangunan yang seolah megah tapi tak berguna. Apa urusannya jika kemudian ada jembatan tapi tak ada jalan, ada terminal tapi tak pernah disinggahi oleh kendaraan dan penumpang, ada stadion besar dan megah tapi hanya menjadi tempat kambing merumput.

Tak sulit untuk melihat dan menemukan kesia-siaan dalam ruang publik karena kebijakan tata ruang yang lebih didasarkan pada pengembangan proyek-proyek untuk mengemukkan kantong para pihak yang ber-kong ka li kong. Taman kota disayembarakan, kemudian dibangun tidak berdasarkan desain pemenangnya, alhasil apa yang dimaksudkan sebagai sarana memperindah kota, menjadi tempat warga melepas lelah, mencari angin segar, malah menjadi sarana asyik mahsyuk di malam hari. Perilaku pembangunan yang lepas dari tata nilai, membuat apa yang dimaksudkan sebagai hiasan, solek keindahan kota justru berakhir menjadi persoalan baru. Apa yang dibangun diatas persoalan sebaik apapun tetap akan kembali menjadi persoalan baru.

Ruang adalah cermin dari penguasa dan masyarakatnya. Adab yang dibangun dari ruang merupakan penanda siapakah yang meninggalinya dan bagaimana tata lakunya. Ketika ruang hanya dipahami sebagai pertempuran kepentingan, tempat membangun penanda bagi kenangan kekuasaan, maka akan abai pada aspek lain. Ruang sebagai kepentingan tidak berada dalam tempat yang hampa, ruang berada dalam sebuah lingkungan yang juga mempunyai kebutuhannya sendiri. Bukan hanya masyarakat (manusia), bukan hanya institusi tetapi alam itu sendiri yang butuh keseimbangan agar bisa mengabdikan sumberdayanya bagi kepentingan manusia.

Rencana tata ruang dan wilayah, semakin hari kerap semakin abai pada kepentingan ‘planet bumi’. Dokumen tata ruang selalu dihiasi dengan alih fungsi lahan, mengerus ruang-ruang perlindungan, mengerus ruang preservasi, ruang cadangan yang seharusnya disimpan untuk generasi yang akan lahir jauh ke depan.

Nafsu untuk mengeruk, menghabisi apa yang ada sebesar-besarnya hari ini melahirkan rencana-rencana pembangunan yang ibarat bangunan besar nan mewah tapi hampa. Hampa karena menyingkirkan dan mengusur elemen-elemen yang lemah, yang tidak bisa bersuara, yang hanya mengantungkan pada kebaikan penguasa dan pengusaha.

Tak heran jika kemudian rencana tata ruang yang menjadi fondasi pembangunan ke depan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat, tak mempunyai daya tarik bagi warga kebanyakan karena hanya mencerminkan nilai material yang hanya bisa diakses oleh kelompok yang terbatas. Kelompok yang bisa ikut memainkan peran dalam proyek pembangunan, mengutip fee dan menunggu bocoran-bocoran.

Materialisasi mengeser nilai-nilai yang terkandung dalam tata ruang, sebagai sarana manusia dan sesamanya serta mahkluk lain ‘bertemu’ dalam konteks kehidupan bersama yang saling dukung. Apa artinya pelabuhan samudera nan megah, lapangan terbang berstandar internasiona, perkebunan nan maha luas jika kemudian itu hanya menjadi ‘etalase keponggahan’ dari segelintir pengambil untung yang tega menyingkirkan kepentingan masyarakat banyak. Kebesaran dan kemegahan pembangunan banyak kali hanyalah cermin dari panjangnya janji politik yang tak ditepati, penyelewengan mandat.

Jika dibalik rencana tata ruang tersembunyi politik kepentingan untuk menopang jabatan, mengejar kekuasaan, persekongkolan jahat maka bukannya rencana pembangunan yang tersaji melainkan rencana penghancuran. Penghancuran yang mulai dari riak kecil yang semakin lama semakin bergelombang dan mungkin akan berakhir dengan Tsunami kehancuran peradaban. Masih ada waktu untuk menunda atau bahkan mencegah Tsunami dengan secara terbuka dan jujur membahas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kita.

Pondok Wiraguna, 13 September 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum