Muntah Aku Setiap Mendengar Namamu

Jumat, 01 Juli 2011

Tanpa perlu diajari sepertinya sedari kecil kita tahu bahwa cara menghindari diri dari kemungkinan untuk dikatakan salah dan juga rasa bersalah adalah dengan melarikan diri. Dalam sejarah penegakan hukum kita, banyak tercatat para pesakitan yang sukses meloloskan diri dari jerat hukum dengan cara keluar dari wilayah negeri ini. Eddy Tanzil adalah salah satu contoh yang monumental, karena mampu meloloskan diri saat sudah menjalani hukuman di dalam sel penjara.  Gayus Tambunan, nama lain yang juga populer, andai punya kenekatan dan keberanian sebenarnya bisa juga mengulangi kelakuan Eddy Tanzil. Sebab berkali-kali Gayus bisa keluar dari penjara untuk berplesiran ke luar daerah dan bahkan ke luar negeri.

Ada banyak nama lain yang bisa disebutkan, namun biarlah yang lalu berlalu saja karena sebagian besar dari kita barangkali sudah lupa. Sekarang  ini ada dua nama yang saya pastikan kita semua kenal, yaitu Nunun Nurbaeti dan Nazzarudin. Kedua orang ini kini sama-sama menjadi tersangka, tapi gagal dihadirkan untuk pemeriksaan karena tak bersedia pulang dari tempat persembunyiannya di luar negeri. Konon di duga mereka berada di Singapura dan alasan keberadaannya disana adalah untuk berobat.

Menurut keterangan dokter, Nunun mengalami gangguan yang menyebabkan ingatannya menurun, bahkan pada soal-soal tertentu lupa sama sekali. Pertanyaan tentang hal yang sulit untuk diingatnya akan membuat gangguan (penyakitnya) semakin parah, demikian kata penasehat medisnya untuk menangkis ketidakhadirannya dalam pemeriksaan. Kini kita tidak tahu kondisi yang sebenarnya, sebab Nunun tidak pernah bicara. Penjelasan tentang dia kini banyak diwakili oleh suaminya, yang adalah mantan petinggi Polri, pernah mencalonkan diri sebagai calon pemimpin DKI dan kini duduk sebagai anggota DPR RI.

Berbeda dengan Nunun, Nazzarudin justru lebih banyak berbicara ketika berada dalam masa “pelariannya’ sampai sekarang ini. Dari luar negeri dia aktif melakukan pembelaan diri, entah melalui rekan se partai, penasehat hukum maupun dirinya sendiri. Nazar terus berkicau lewat twitter, BBM dan bahkan konon membuat sebuah blog untuk menuliskan kesaksiannya. Dari luar negeri, Nazar terus menembak rekannya baik satu partai maupun sesama anggota DPR RI. Dari tempat persembunyiannya, dia seakan-akan sangat leluasa untuk memuntahkan berbagai informasi yang andai benar akan mampu mengurangi derajat kesalahan yang dituduhkan pada dirinya.

Melihat kelakuan Nunun dan Nazar ini, saya jadi teringat pada pengalaman di masa lalu. Saat saya banyak bergaul dengan para ‘drunken master’ dulu. Ada dua gaya mabuk, yaitu gaya diam membatu dan gaya pengkotbah. Maksudnya efek dari minuman beralkohol pada seseorang bisa membuat mulutnya terkunci rapat tapi pada orang lainnya justru terbuka dan nyerocos seolah tak bisa dihentikan. Nunun mewakili gaya batu, karena semakin orang membicarakan justru semakin terkunci mulutnya, tak ada satupun kata-kata keluar dari mulutnya. Sementara Nazar, mewakili gaya mabuk pengkotbah, terus berbicara, pancingan satu kalimat mampu membuatnya menceritakan kisah satu babak.

Tapi baik gaya batu maupun pengkotbah, tetapnya saja orang mabuk adalah menjengkelkan. Sialnya gaya atau jurus mabuk, saat ini bukan hanya di pakai oleh Nunun dan Nazar. Melalui saluran televisi dengan gamblang kita bisa menyaksikan efek dari jurus mabuk yang dipakai oleh Mahfud MD, ketua Mahkammah Konstitusi kala menembak Andi Nurpati, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum yang kemudian menjadi pengurus pusat Partai Demokrat. Sodokan Mahfud MD bagai karambol yang kemudian mengena kemana-mana termasuk sampai pada Arsyad Sanusi, mantan Hakim Konstitusi yang telah mengundurkan diri karena memasuki masa pensiun.

Pentas jurus mabuk atau segmen “goro-goro’ dalam pertunjukan wayang kulit ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di media melainkan juga di ruang wakil rakyat yang terhormat. Baik yang didatangkan maupun yang mendatangkan, semua berlomba untuk mengobral kata, menyelematkan diri dengan melimpahkan kesalahan pada orang lain, membenarkan diri dan mengatakan yang lainnya adalah bohong. Sensitifitas orang mabuk memang menurun, terutama yang bergaya pengkotbah sekilas menjadi lebih terbuka, terus terang, bicara tanpa tedeng aling-aling. Kata-kata seakan mengalir lancar dari mulutnya, bibir berair-air begitu ibaratnya. Sebenarnya asyik juga mendengarkan silat lidah mereka. Tapi pada taraf tertentu kita bakal merasa bahwa para pendekar jurus mabuk ini sudah kelewat ‘ugal-ugalan’. Layaknya anak-anak muda yang memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi di tengah keramaian lalu lintas, nyaris tak punya kepekaan bahwa aksinya itu membuat pengendara lain menjadi jantungan.

Maka tak heran jika kemudian ada yang merasa jenggah  dengan aksi buka-bukaan ini. Bukannya tidak setuju tapi mempertanyakan motif, apakah karena niat baik membersihkan negeri ini dari segenap penyimpangan atau ada tujuan lainnya yang tersembunyi. Saya sendiri paham kenapa orang mempertanyakan ini, sebab yang sedang bertarung dengan jurus mabuk, kebanyakan adalah politisi baik yang aktif maupun non aktif di partai politik. Saya tidak bermaksud menuduh bahwa politisi adalah orang yang tidak bisa dipercaya, karena tanpa tuduhan itupun sebenarnya hasil-hasil dari penelitian lembaga survey sudah menyatakan demikian. Umumnya hasil penelitian itu mengkonfirmasi bahwa hanya sedikit masyarakat yang percaya bahwa politisi punya niat baik. Dan tak banyak pula yang menyebut bahwa partai itu penting, kecuali mereka yang berkecipung didalamnya atau sedang berniat untuk memakai partai sebagai kendaraan politiknya.

Tapi saya sendiri sadar bahwa politisi tak peduli dengan pandangan seperti itu. Mereka terbiasa dengan anggapan bahwa politisi gemar memproduksi dan mereproduksi kebohongan serta memperoleh keuntungan dari hal itu. Kenapa?. Karena para politisi tahu persis bahwa mereka berhadapan dengan masyarakat yang punya penyakit sama dengan Nunun, penyakit gampang lupa. Tidak butuh waktu yang lama bagi seorang tokoh yang tadinya dikutuk-kutuk untuk kembali menduduki tempat terhormat di masyarakat kita. Jadi tak perlu heran kalau kemudian di lubuk hati sebagian masyarakat ada kata tanpa suara “Ah, ternyata masih enak hidup di jaman Suharto”.

Saya adalah bagian dari masyarakat pelupa, untuk itu saya menulis agar ketika lupa dan kemudian membaca tulisan ini kembali menjadi ingat. Menulis adalah bagian dari upaya melawan lupa, sebab saya tak sudi jika harus mengidap lupa permanent. Harus saya akui, bahwa di masa lalu berkali-kali saya mabuk karena minuman beralkohol, mabuk semabuk-mabuknya sampai muntah. Pada waktu tertentu muntah memang bisa membuat badan menjadi lega, tapi jika harus muntah sampai usus serasa keluar sungguh tidak enak. Muntah kuning demikian sebutannya. Dan bisa dipastikan jika anda mengalami muntah kuning, dalam dua atau tiga hari ke depan dunia serasa kiamat, sungguh tidak nyaman.

Kali ini saya serasa muntah setiap mendengar nama tertentu, meski tanpa meminum setetespun “air kata-kata”. Saya terima saja rasa mual itu untuk terus terjaga, agar kelak jika orang-orang itu wajahnya terpampang di kertas suara, saya bisa menumpahkan muntahan ke wajahnya. Andai kertas suara berlumuran muntahan, pasti petugas pemunggutan suara akan sukarela mengatakan tidak sah. Dan semoga dengan kehilangan satu suara dari saya maka para tokoh yang “njelehi” itu tak bakal menduduki tempat yang terhormat sebagai wakil atau pemimpin kita.

Salam Hoeek
@yoesthie_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum