Menulis Bukan Bakat Saya

Jumat, 01 Juli 2011

Sewaktu mempersiapkan sekolah menulis, seorang teman mengatakan “Kenapa orang ini diterima, sampai kiamatpun tidak bakalan bisa menulis dia ini!”.  Rasanya kejam betul teman ini, meski wajahnya tak  mempunyai ciri-ciri sedikitpun untuk disebut begitu. Tapi jangan salahkan dia dulu, karena bisa jadi teman ini mempunyai iman bahwa menulis itu perlu bakat. Jadi siapapun yang tak punya bakat biar diajarin dengan cara apapun pasti akan gagal menghasilkan karya tulis.

Saya tak ingin mendebat pernyataan teman itu, senyum dan tawa kecil saja sudah cukup untuk menanggapinya. Memang tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa menulis, melukis, menyanyi itu istimewa. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang berhak atau bisa menguasainya. Maka kalau kita bertanya pada orang ini “Bagaimana sih caranya menulis?”, maka jawabannya akan pendek “Ya, mulai menulis saja”.  Gampang bukan. Dan kalau anda menerima jawaban seperti itu tak usah melanjutkan lagi pertanyaan atau penjelasan soal cara menulis. Percuma saja sebab jawaban berikutnya bisa jadi bakal membuat anda benar-benar tidak bernafsu lagi untuk menulis.

Saya sendiri adalah seseorang yang sejak kecil tak pernah tahu punya bakat apa. Memang tak sedikit yang mengatakan saya berbakat untuk ini dan itu, tapi saya sendiri juga tak yakin. Saya mulai menulis ketika mendengar sebuah anjuran “Menulislah setiap hari, jadi atau tidak jadi”. Dan mulailah saya menulis, kemudian membaca tulisan itu. Menurut saya jelek dan tidak menarik, tapi karena ayat “menulislah setiap hari, jadi atau tidak jadi” telah terpatri maka saya berusaha mencari cara bagaimana menulis yang baik. Artinya saya yakin bahwa menulis bisa dipelajari sehingga saya bisa merubah ayat menjadi “Menulis setiap hari dan jadi”.

Banyak hal di dunia ini yang jauh lebih sulit dari menulis tapi terus diajarkan dan ternyata banyak orang yang berhasil menguasainya. Siapa bilang matematika, fisika dan kimia lebih gampang dari menulis?. Bagi saya dan kebanyakan teman sekolah dulu, matematika bagaikan momok, lebih mengerikan dari “murka Tuhan”. Karena tak mungkin selalu membolos pada pelajaran Matematika, akhirnya meski jarang mendapat nilai yang bagus toh saya juga bisa menguasai sedikit demi sedikit, ya sekurang-kurangnya cukup untuk tahu kalau uang kembalian dari tukang warung, kelebihan atau kurang.

Niat saya dan teman-teman lain untuk menyelenggarakan sekolah menulis muncul karena keyakinan bahwa menulis seperti hal yang lainnya adalah bisa diajarkan. Kalau kemudian masing-masing orang hasilnya berbeda, ada yang baik, ada yang buruk, itu adalah soal lain. Yang baik sekarang belum tentu baik di hari kemudian, dan demikian pula sebaliknya. Setiap orang adalah unik maka penerimaan pada sesuatu hal juga unik dan khas. Banyak warung soto, dawet, tempe goreng, sate dan lain-lain, semuanya memakai bahan dan bumbu serta cara membuat yang tidak jauh berbeda, tapi hasilnya bisa berbeda-beda. Dan mana yang paling enak?. Sulit untuk menentukan salah satunya, selalu ada alternatif, karena enak adalah soal selera. Sesuatu yang serasa pas untuk saya, ternyata kurang asin untuk untuk istri saya, itu contohnya.

Saya tidak hendak menafikan bahwa bakat itu tidak penting atau tak ada gunanya. Tentu saja berguna, tapi bakat tetap saja merupakan bahan mentah. Bagai mutiara dan emas kalau tidak diolah dan dipoles tentu saja tak akan berkilau. Menulis, menari, menyanyi dan melukis adalah sebuah kecakapan. Ada banyak jenis tulisan, tarian, nyanyian dan lukisan. Sebagian besar orang pasti mengatakan apa bagusnya lukisan Affandi dibandingkan dengan Basuki Abdullah?.  Mata orang awam akan mengatakan bahwa lukisan Basuki Abdullah tentu lebih mooy, lebih indah karena siapapun yang dilukis olehnya bakal lebih cantik dan ganteng. Dan jangan berharap menemukan hal yang sama pada Affandi, sebab model yang dilukis olehnya harus siap menerima keadaan bahwa wajahnya “mleyat-mleyot’. Entah apakah mereka berdua itu mempunyai bakat melukis atau tidak, namun yang pasti keduanya mempelajari cara melukis yang berbeda. Affandi sebelum melukis dengan gaya ekpresionis (abstrak) adalah tukang gambar poster bioskop.

Jadi kembali kepada soal menulis, semua itu tentu bisa dipelajari sebab ada banyak teori tentang menulis, sebagaimana resep bakso, soto atau es campur. Siapapun boleh dan bisa belajar tentang menulis, bahkan untuk orang buta huruf sekalipun. Toh, bisa saja dia bertutur dan orang lain menuliskannya di komputer atau kertas lalu jadilah sebuah tulisan. Namun sekali lagi mempelajari hal yang sama, atau memakai resep yang sama tidak menjamin hasilnya akan sama pula. Menulis tetap merupakan seni, ada ruang-ruang kreatifitas yang perlu ditemukan atau dikembangkan sendiri. Dan itulah yang akan membedakan seseorang dengan yang lainnya, andai kita percaya bahwa bakat adalah karunia bawaan dari Tuhan, maka disinilah kita bisa membuktikan bahwa kita mempunyai bakat menulis.


Salam Lestari
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum