Siasat Tradisi dalam Tarian Lung Anai

Rabu, 03 Agustus 2011

Di kala Senja jatuh menghampiri malam di musim panen, pada Mei 2009, penduduk Dayak Kenyah, desa Lung Anai kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dari berbagai tingkatan umur terlihat berkerumun di balai (lamin) desa tempat digelarnya hajatan besar setelah pulahan tahun mereka tinggalkan.

Suara sampeq (music tradisi) Kenyah terus berbunyi di Lamin desa mengiringi para penari sebagai bentuk kesyukuran kepada yang kuasa. Sore ini mereka sedang latihan menari untuk acara adat Umand Undrat (makan beras baru) atau upacara panen padi ladang pada esok harinya.

Latihan di sore itu ditutup dengan tarian Hudoq (Topeng) sebuah persembahan kepada para dewa untuk mengusir hama dan roh-roh yang mengganggu mereka selama proses di ladang-ladang pertanian. Itu salah satu makna awal tarian hudoq sebagaimana yang dituliskan dalam synopsis panitia yang akan dibacakan mengiri tarian topeng dayak tersebut. Tapi makna itu hanya untuk mengenang tarian di masa silam. Saat ini mereka tentu tidak lagi meyakini makna itu setelah konsepsi agama Bungan Malan Pesulung Luang (Tuhan yang Kuasa) dan yang bertalian dengan Bali padi (dewi padi) sudah lama tiada. Sekarang Doa berganti dipanjatkan kepada Tuhan Yesus karena sudah menganut protestan. Begitu kata kepala adatnya.

Menarik mengamati sesi latihan manari orang Kenyah ini, bukan hanya pada tarian gadis-gadisnya yang mencengangkan terutama tarian datun julud (massalnya) , tetapi juga, ternyata menjadi hal baru dalam siklus kehidupan mereka. Dahulu upacara tanpa harus latihan sebelumnya. Menurut mereka perubahan tradisi ini karena upacara kali ini akan dihadiri oleh rombongan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Hampir semua penduduk kampung Long Anai sebanyak 475 orang turut ambil bagian dalam latihan tersebut. ada yang menari, memainkan music (sampeq) dan seorang diantara mereka mengatur bagaimana runutan upacara Uman Undrat berlangsung. “Tolong bapak ibu, besok tampil maksimal, anak-anak yang ditugaskan berdiri dipinggir jalan yang akan dilalui oleh bapak bupati supaya serius narinya tidak boleh main-main,” ujar Sidaris salah satu tetua adat setempat.

Di malam sebelum upacara, intensitas kesibukan seperti kaum perempuan yang memasak di balai desa terlihat meningkat. Beberapa tetua adat serius berbincang di ruang tengah. Sementara kepala desa juga memimpin di kantornya mengatur segala hal yang akan digunakan dalam upacara besok hari.

Saya ikut dalam persiapan di kantor desa terutama foto-foto kegiatan desa yang ditempel-tempel pada sebuah media yang berisi kegiatan di komunitas desa itu yang akan dipemerkan di balai adat . Mulai dari gambar pemukiman dan ladang mereka hingga foto tetua adat perempuan tua yang masih memelihara telinga panjang dan tato. Yang lucu dan manarik, kami yang berada di kantor desa itu dipersilahkan memberi masukan untuk memberi judul foto-foto tersebut. Foto nenek tua yang berkuping panjang dan bertato tersebut disepakati diberi judul “leluhur”. Penemuan nama ini memantik tawa dari semua yang hadir dalam ruang pertemuan desa. Saya pun larut dalam ngakak berjamaah tersebut, walau tidak terlalu tahu dimana letak lucunya. Penasaran, saya mulai mencari tahu dengan mengajak mereka ngobrol lebih jauh kenapa mereka anggap lucu. “Bertelinga panjang dan bertato itu kebiasaan nenek-nenek kami dahulu. Sekarang ini sudah tidak ada lagi kecuali beberapa tetua yang ada kampong kami ini ya salah satunya foto ini,” kata Lawing pemuda setempat tersenyum.

Saya langsung ingat riwayat mama Pirin yang dulu pernah memiliki kuping panjang, ia lalu memotongnya dengan alasan pergaulan sosial. Cerita tentang hal ini membuat kepala desa ikut berkomentar soal invensi penanda utama Ke-Dayak-an ini. “Sebaiknya generasi yang masih muda sekarang ini memanjangkan telinganya kembali. "Saya sendiri menganjurkan bagi anak perempuan saya, untuk memanjangkan telinga. Memelihara tradisi bisa menjadi penghasilan jika kelak tumbuh menjadi dewasa,” ujar pak desa. Tetapi keinginannya tidak serta merta dapat terwujud. Persoalannya istri pak desa sendiri justru tidak ingin jika anak perempuannya memanjangkan kupingnya seperti para leluhurnya. “Bisa tidak cantik nanti dia,” ujar ibu desa seperti yang ditirukan oleh pak desa. Persoalannya tidak sampai di situ, ternyata gadis-gadis Kenyah ingin membangitkan kembali hanya pada tari-tarian dan nyayian, soal berkuping panjang nanti dulu. “itu khan bisa diganti dengan plastik ketika kami tampil menari, tidak harus memanjangkan seperti orang-orang dulu,” ujar Yurni.



Hajatan Umand undrat ini menjadi bagian dari program desa budaya yang telah disematkan bagi desa Lung Anai. Tujuanya adalah menghadirkan kembali tradisi masa silam yang mulai terkubur zaman dengan kemasan pariwisata agar masyarkat setempat mendapat penghasilan tambahan, sekaligus mendulang pundi-pundi APBD bagi Kutai Kartanegara. Begitu yang sering diungkapkan oleh pejabat kabupaten setempat setiap mereka berkunjung ke desa ini. Tetapi sebenarnya masyarakat Dayak Lung Anai tidaklah terlalu berharap desa mereka benar-benar menjadi tujuan pariwisata. Diantara harapan mereka adalah ladang-ladangnya tidak dikeruk untuk pertambangan batu bara seperti desa-desa lainya dan sebaliknya mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah setempat. Semoga.

Abdullah Naem

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum